(Novel Online) GUNTING & KENTANG Chapter 1







SATU…..

Sahabat Dalam Hujan…



Suatu hari, aku pernah bermimpi dalam kesendirianku.
Aku tak pernah mengerti, apa dan siapa yang setiap malam mengetuk jendela.
Tiap aku terbangun, aku merasa sedang bermimpi.
Dan tiap kubermimpi, aku selalu saja terbangun.
Ya, dalam hari-hari tanpa cahaya, aku melihatnya menatapku dari jendela.
Cahaya matanya menerawang jauh seakan membawaku pada kenangan lalu.
Aku kembali bertanya pada diriku, pada dirinya.
Seakan aku punya sahabat baru lagi….

* * *

Aku terdiam memandang lurus ke depan. Semua tatapan mata tertuju padaku. Aku bingung apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku. Sempat aku tersenyum kaku mencoba menggapai tawa yang semakin keras kudengar. Namun, semua yang kuharapkan hanya angin lalu dan membawaku pada suatu titik dimana aku merasa dipojokkan.
            Dua tatap mata melototiku di depan pintu kelas. Di belakangnya seorang perempuan tersenyum di balik jemarinya yang menutupi mulutnya. Aku kembali bingung, untuk apa aku berdiri di depan kelas ini.
            Sambil menghirup napas dalam-dalam, aku mencoba bertanya pada seorang pria yang dari tadi melototiku. Tapi suaraku terbenam di tenggorokan sehingga tak mampu lagi keluar dari mulut. Sekali lagi suara tawa yang membuat telingaku panas menggema di seluruh ruangan.
            “Kau, menari!” kata pria yang dari tadi melototiku dengan geram.
            Aku sempat terdiam mencoba mencari-cari makna dari kata-kata tersebut. Namun setelah kupikirkan jauh-jauh, aku tetap tak mengerti apa yang ia inginkan. Aku menggeleng kuat-kuat.
            “Kau tuli! Cepat menari!” katanya lagi lebih galak.
            Perempuan yang berada di belakangnya semakin tertawa ketika melihatku kebingungan. Sementara seisi kelas terdiam menanti apa yang akan kulakukan.
            Aku kembali menenangkan diri. “Ta-tapi apa salah saya?” tanyaku susah payah dengan suara gemetaran.
            Seisi kelas kembali tertawa terbahak-bahak. Dengan tampang tolol aku menatap tiap kepala sambil bertanya-tanya apa yang membuat mereka terbahak-bahak. Aku kembali menatap pria dan perempuan yang berdiri di depan pintu. Keduanya sama-sama tertawa sampai hampir menangis.
            Satu lemparan kertas tergulung mendarat di wajahku. Aku terkejut hingga hampir jatuh. Melihat itu mereka semakin tertawa seakan menikmati tiap langkah kebodohanku. Aku mulai kehabisan napas dibuatnya. Aku tak mengerti apa yang tengah terjadi. Aku tak mengerti apa yang lucu dari semua tingkahku. Hingga pertanyaan-pertanyaan ini mencapai puncaknya, aku memberanikan untuk bertanya sekali lagi.
            “APA YANG MEMBUAT KALIAN TERTAWA!!”
            Napasku terengah-engah. Semua tatapan mata kembali mengarah padaku. Tapi kali ini semua terdiam. Mulut mereka menganga tanpa suara. Dan entah mengapa bulu kudukku berdiri sehingga membuat mataku berair.
            “Dia menangis!” seru salah seorang yang duduk di bangku paling belakang.
Semuanya kembali tertawa keras. Semuanya tertawa puas tak tahu mengapa. Aku kembali dilanda kebingungan. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi untuk membuat semuanya diam.
            “Dia menangis! Dia benar-benar menangis!”
            Aku tidak menangis! Kataku memberontak dalam hati. Aku hanya tak tahu kenapa tiba-tiba mataku basah. Aku mencoba tetap tenang dan diam dalam kebingunganku. Aku hanya tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak menangis…
            “Anak SMA menangis?” beberapa anak perempuan saling berbisik di sebelah kanan.
            “Ya, dia memang cengeng,” kali ini sambil tertawa terbahak-bahak seperti yang lain.
            Aku tidak menangis, aku tidak menangis. AKU TIDAAK MENANGIS!!!!!
* * *

Suara tetesan air hujan itu terdengar manis di telinga. Aku kembali tersadar dari lamunanku. Napasku terasa berat, dadaku berdetak dengan cepatnya. Entah mengapa aku merasa tubuhku tersengat hebat selama beberapa detik yang lalu. Setelah merasa semua baik-baik saja, aku kembali duduk perlahan di sudut kamarku yang gelap.
“Aku tidak menangis,” bisikku hampir tak terdengar.
Aku meringkuh mencoba menghangatkan tubuhku yang gemetaran. Bayangan dahan-dahan pohon yang menari-nari menembus jendela kamarku membuatku kembali menghilang bersama lamunanku. Sesaat aku mencoba kembali. Namun, akhirnya kubiarkan aku terbawa olehnya.

Aku berjalan dalam kegelapan dengan sebuah senter di tanganku. Aku ikuti jalan licin dan berliku mengelilingi teriakan-teriakan yang membuat dadaku berdetak hebat. Di tangan kiriku tergenggam sebuah kertas kecil bertuliskan nama ‘Kak Ita’ yang harus kucari orangnya sekarang juga. Saat kulihat perempuan berjilbab sedang duduk di bawah pohon aku mencoba mendekatinya.
“Ma…maaf, Kak Ita?” tanyaku sambil menunjuk sopan padanya.
Dia memandangku sebentar lalu melemparkan pandangannya ke arah lain tanpa berkata sedikit pun.
“Ma-maaf, permisi. Apa Anda Kak Ita?” tanyaku lagi lebih sopan dan gemetaran.
“KAU BISA SOPAN SEDIKIT NGGAK SIH!” teriakan keras itu menyambutku tiba-tiba.
Aku terhenyak mengalihkan pandanganku ke bawah mencoba menenangkan diri. Setelah cukup tenang, aku kembali menatapnya tanpa menunjukkan ketakutanku.
“Ma…maaf,” sahutku seakan tak mampu lagi untuk berkata.
“Maaf…maaf. Saya tidak butuh kata itu. Memang sekarang kau kelas berapa?!” katanya tetap tegas.
“Sa..saya.. sa-saya sudah S-SMA, Kak,” jawabku.
“Kamu sering ke stasiun, ya?” dia kembali menyodoriku sebuah pertanyaan
Aku terdiam. Aku tak mengerti apa yang ia katakan. Sejenak aku berpikir. Namun tetap tak mengerti dengan apa yang ia katakan. Setelah cukup lama berpikir, aku mencoba bertanya kembali.
“Ma-maaf, bisa di-diulangi?” tanyaku.
“Dasar tuli. KAMU SERING KE STASIUN YA?!!” katanya mengulangi pertanyaannya dengan keras dan tegas.
Beberapa kakak panitia di belakang kami tertawa mendengarnya. Aku sempat memandang mereka. Tapi tetap tak mengerti dengan apa yang ia maksud.
“Dia sudah langganan, Kak,” kata salah seorang dari mereka. “Banyak om-om yang mengidolakan dia kok.”
Aku mulai mengerti dengan apa yang mereka maksud. Aku menatap kakak perempuan yang ada di depanku dengan perasaan yang sulit lagi untuk digambarkan. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Aku…aku…
“Pantes, kalau bicara aja seperti banci-banci yang sedang mangkal di stasiun!” katanya benar-benar menusuk jauh ke dalam hatiku.
Tubuhku lemah hampir tak dapat kutopang lagi dengan kakiku. Ingin sekali aku berlari pergi dari dunia ini. Namun kembali aku mencoba berdiri dalam semua ketidakberdayaan ini.
“YANG TEGAS!” serunya lagi di depan wajahku.
Aku mengangguk lemah. Namun, suara yang ingin kutunjukkan tak mampu lagi bekerja sama denganku. Aku kembali menatap dengan kosong.

Suara guntur menangkap perhatianku. Aku kembali terbangun dari semua bayangan yang pernah kualami. Sekali lagi aku mendekap tubuhku erat. Sampai tak sadar, mataku kembali berair seperti jendela kamarku yang mulai basah oleh hujan. Sejenak kunikmati keheningan malam ini. Namun, semuanya berakhir saat bayangan-bayangan itu kembali masuk ke dalam otakku.
Aku mencoba berontak. Aku tak ingin lagi mengenang bayang-bayang mengerikan yang membuat tidurku menjadi mimpi buruk. Dengan susah payah aku meronta dan melupakan semuanya. Tanpa sadar sebuah vas bunga sudah kugenggam dan kulemparkan jauh memecahkan kaca jendelaku dengan suara yang membuat hatiku tenang.
Napasku kembali tak teratur. Tubuhku lemah hampir tak mampu bangkit lagi. Hembusan angin malam melewati wajahku mengeringkan air mata yang mulai membasahi pipi. Aku tak menangis. Aku tak tahu kenapa air mata ini tiba-tiba mengalir. Padahal aku sama sekali tak menginginkannya. Aku hanya mau pergi ke tempat itu. Aku hanya ingin terbang sekarang ke tempat itu. Bukannya menangis seperti lelaki pecundang. Aku tidak mau menangis…
“Kau menangis,” tiba-tiba terdengar suara dari luar jendela.
Aku bangkit menatap jendela pecah itu. Namun tak terlihat seorang pun di sana. Dengan langkah lambat aku mencoba memandang jauh menerobos rintik-rintik hujan.
“Kau menangis, kan?” katanya lagi.
Tak ada seorang pun di sana. Namun aku yakin mendengar suara seorang pria seumuran denganku.
“Si-siapa itu?” tanyaku ketakuatan.
“Aku? Bukannya kau yang memanggilku?” dia bertanya balik.
“Aku? Kamu?”
“Ya, aku datang karena kamu,” katanya lagi.
“Ke-kenapa?”
Sesosok bayangan muncul dari seberang jalan. Dari derasnya hujan ia muncul perlahan. Sesosok lelaki jangkung berbaju hitam tersenyum padaku. Dia berhenti tepat di depanku. Sambil mengangkat tangannya padaku ia kembali tersenyum ramah. Aku menatapnya dengan penuh keraguan. Memandangnya daru ujung rambut sampai ujung kaki. Entah mengapa, aku merasa dekat dengannya.
“Kenapa diam?” tanyanya. Dia kembali mengangkat tangannya sekali lagi berharap ada balasan. Sekali lagi dengan ragu aku mencoba menjabat tanganya.
Hembusan angin kencang seolah-olah ingin melemparkanku jauh-jauh. Aku mencoba bertahan dalam keadaan itu. Namun, tak beberapa menit kemudian tubuhku terlempar jauh membuat napasku berhenti dan menbangunkanku dari tidurku.
Aku bangkit dalam keheningan malam itu. Napasku tak teratur. Dadaku seakan penuh sesak ingin meledak. Perlahan aku menatap jendela kamarku. Mataku melotot ketika semuanya terlihat baik-baik saja. Tak ada yang pecah, tak ada hujan, tak ada angin. Aku pun tak sadar sedang berbaring di tempat tidurku yang barantakan. Setelah yakin semuanya hanya mimpi, aku kembali berbaring mencoba menenangkan diri.
“Kau sudah sadar?” tiba-tiba dia muncul kembali tepat di depan wajahku.
Aku terkejut dan berguling ke kanan hingga jatuh dari tempat tidurku. Kemudian aku segera bangkit dan berlari merapat ke dinding.
“Kenapa kau takut?” tanyanya. “Kitakan sudah bertemu.”
Lelaki yang sama saat kulihat dalam mimpiku. Aku memandangnya dengan seksama. Mulai dari rambutnya yang lurus, senyumnya yang ramah, tubuhnya yang jangkung, baju dan celana hitam, hingga ujung kaki tanpa alas. Semuanya mirip dengan apa yang aku lihat sebelumnya.
“Si-siapa kau?” tanyaku kambali gemetaran.
“Aku? Sudah kubilang aku temanmu,” katanya sambil berbaring santai di tempat tidurku. “Oh… bukan, aku adalah sahabatmu,” katanya kembali sambil berguling-guling meluruskan tubuhnya. “Sudah lama aku tak seperti ini.”
Aku tak bicara lagi membiarkannya menikmati tempat tidurku. Aku mendengar suara dari luar jendela. Entah apa yang terjadi. Hujan lebat kembali turun tanpa kusadari.
“Aku datang saat hujan.” Sekali lagi ia mengejutkanku dengan muncul tiba-tiba di sampingku. Namun, kali ini aku tak menghindar. Benar-benar kurasakan ikatan kuat padanya. 
“Aku akan selalu datang saat hujan seperti ini,” katanya lagi.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena aku sahabatmu.”
Aku memandanganya. Dan dia membalasku dengan sebuah senyuman.
“Kau tidak punya sahabat, kan?” tanyanya.
Aku mengangguk lambat. Kali ini kutatap tiap tetes hujan yang mengalir di jendela kamarku.
“Sekarang kau punya,” katanya sambil mengangkat jari kelingkingnya padaku. “Berjanjilah.”
“Untuk apa?” tanyaku balik.
“Untuk jadi sahabatku.”
Aku kembali memandangnya sebentar. Kemudian aku menjabat jarinya dengan jariku. “Ya,” sahutku.
* * *

Bel pulang sekolah sudah terdengar lima belas menit yang lalu. Aku menyempatkan diri pergi ke perpustakan sekolah dulu sebelum pulang. Langit tampak gelap saat aku melewati lapangan basket. Sekolah mulai sepi. Hanya beberapa teman sekelas sedang asyik bermain bola di lapangan. Aku mencoba menghindari mereka karena tak ingin lagi ada masalah yang datang seperti sebelumnya. Namun, bagaimana pun aku menghindar, lemparan bola basket yang cukup kuat mendarat di bahuku melepaskan beberapa buku tebal yang sebelumnya kupinjam dari perpustakaan.
            Sekali lagi aku mendengar tawa puas dari mereka. Aku bangkit mengambil buku-buku tersebut karena itu bukan milikku. Jika sampai rusak, aku bisa mendapat masalah.
            “Hoi, Di. Kalau jalan lihat-lihat dong. Ambilin bola basketnya,” Doni kembali menertawakanku.
            Aku meletakkan kembali buku-buku perpustakaan itu di atas ranselku. Kemudian, aku mengambil bola basket yang menggelinding jauh dariku lalu membawanya kembali ke lapangan basket. Perlahan aku menyodorkan kembali bola mereka. Tetapi tak ada yang mau menyambutnya. Aku memandang keempat temanku yang kini balas memandangku dengan tatapan aneh. Aku menunduk untuk menghindari mereka.
            “I-ini bola basketnya,” kataku secepat mungkin ingin pergi dari tempat itu.
            Rafi dan teman-temannya mundur beberapa langkah.
            “Lemparkan bolanya,” katanya sambil mengangkat kedua tangannya. Yang lain tertawa kecil seakan menanti sebuah pertunjukkan yang mereka tunggu-tunggu.
            “Loe denger, nggak?! Gua bilang lempar bolanya!” Rafi membentak.
            Aku melonjak kaget. Dengan cepat aku mundur beberapa langkah dan melemparkan bolanya dengan lambat.
            Rafi mengkap bola itu dengan mudah. Kemudian ia tersenyum diikuti tawa keras teman-temanku yang lain. “Loe bisa main basket nggak sih?” tanyanya kemudian.
            Aku terdiam tak mengerti apa yang ia maksud.
            “Gua tanya loe! Kok malah bengong,” dia kembali membentakku. “OK, biar gua yang ajarin gimana cara bermain basket yang baik dan benar,” sambungnya sambil tersenyum sinis. Dan yang lain kembali tertawa ingin melihat apa yang akan terjadi kemudian.
            Aku terdiam. Kepalaku terus berputar hebat dan kakiku gemetaran tak karuan. Aku kembali memandang Rafi, dan bola basketnya menyambut tepat di wajahku. Aku mundur beberapa langkah olehnya. Sampai tak mampu lagi menyeimbangkan tubuhku, aku terpelanting dan jatuh membuat kepalaku terbentur dengan keras.
            Aku mencoba tak merasakan panasnya wajahku yang memerah dan benturan keras yang baru kuterima. Sempat kurasakan sesuatu yang hangat mengalir dari kedua lubang hidungku, tetapi tak kuhiraukan. Aku mencoba bernapas lewat mulutku dan mengumpulkan tenaga untuk bangkit. Tetapi apa yang kurasakan sekarang membuatku lebih nyaman dan membiarkan semuanya seperti ini.
            Entah sudah berapa lama aku biarkan tubuhku terkapar di lapangan ini. Tapi aku masih mendengar tawa puas mereka setelah menjatuhkanku dengan mudah. Ya, memang aku mudah terjatuh. Bahkan sangat mudah seperti tetes-tetes hujan yang mulai turun menyejukkan tubuhku. Aku mendengar suara guntur. Aku juga mendengar suara mereka. Aku mendengar dan melihat semua yang ada di sana. Kulihat mereka tertawa di depanku. Di kejauhan kulihat beberapa temanku yang lain sedang asyik membicarakakanku. Termasuk Sisy temanku sejak kecil. Entahlah. Mungkin aku yang tak pantas menjadi temannya.
            “Kau mau seperti ini terus?”
            Aku mendengar suara yang lain. Suara yang sudah kukenal sebelumnya. Namun aku tak ingin berpaling dan melihat siapa yang berbisik di belakangku.
            Aku mendengar napasnya yang hangat tepat di telingaku. “Apa kau mau seperti ini untuk selamanya?” dia bertanya lagi.
            Aku tetap tak berpaling. “Ya,” sahutku tanpa pikir panjang. “Hanya ini yang membuatku lebih nyaman.”
            “Apa kau bodoh? Kenapa kau tak bangkit dan memukul hidung besar pecundang itu?” ia bertanya lagi.
            “Dia bukan pecundang. Dia temanku,” jawabku.
            “Kau kan tidak punya teman,” katanya.
            Aku terdiam mendengarnya. Saat itulah tak lagi terdengar suara. Aku memandang Rafi dan teman-temanku yang lain. Entah mengapa mereka menutup mulutnya rapat-rapat sambil memandang heran padaku. Begitu pula dengan Sisy dan teman-temannya. Dengan wajah tidak percaya mereka perjalan mendekati Rafi dan yang lainnya.
“Mereka terlihat takut padamu,” katanya lagi.
“Aku tidak tahu.”
“Ayolah, aku tak mau melihatmu seperti ini. Aku ada di sampingmu. Aku pasti akan membantumu,” katanya lagi yang membuatku terbagun karena terkejut.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku ketika menyadarinya benar-benar nyata.
Dia tersenyum padaku. Kemudian ia bangkit dan memandang tajam kepada Rafi dan teman-temannya.
“Boleh aku membantumu?” tanyanya kemudian. “Aku sudah lama tak memukul wajah seorang pecundang,” sambungnya.
Dadaku kembali berdetak kencang. “Aku bisa mendapat masalah lagi jika kau ada di sini. Cepat pergi. Aku bisa mengatasi semuanya sendiri.”
Dia kembali memandangku. “Kau tidak bisa berbuat apa-apa,” sahutnya. “Kau kan sahabatku. Kita sudah berjanji, kan?”
Aku kembali mengingat kejadian malam itu. Saat pertama kali aku melihatnya di kamarku. Entah dari mana dan untuk apa dia datang padaku. Tapi ada sesuatu yang berbeda saat aku memandangnya.
“Aku akan membantumu,” katanya sambil mengulurkan tangannya padaku. “Ijinkan aku membantumu,” katanya lagi.
Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku tak ingin menambah masalahku yang sudah banyak kuderita. Aku kembali memandang Rafi dan teman-temannya dalam derasnya hujan. Mereka tetap terdiam memandangku dengan tatapan aneh. Aku tak tahu apa   yang sedang mereka pikirkan. Saat ini hanya dia yang membuatku merasa aman.
Perlahan aku manggapai tangannya. Dia tersenyum ramah padaku. Dan dalam satu kedipan mata, hembusan angin kencang kembali menerpa tubuhku hingga aku merasa sangat ringan seperti terbang tinggi ke atas. Aku tak melihat mereka lagi termasuk dia. Yang aku lihat hanya cahaya putih yang memenuhi ruangan dimana aku berada. Aku tak dapat mengeluarkan suara untuk mencari dimana mereka semua pergi. Yang dapat aku lakukan sekarang hanya mendengar suara hantaman-hantaman dari kejahuan. Aku sama sekali tak tahu suara apa itu. Kemudian aku mendengar teriakan, jeritan tapi sangat pelan dan nyaris tak kudengar. Saat aku mencoba menajamkan pendengaranku, aku tahu Sisy menjerit entah mengapa.
* * *

Aku terbangun di pagi yang basah karena hujan. Kepalaku terasa berputar hebat saat pertama kali aku membuka mata. Namun, tak beberapa lama kemudian semuanya membaik seperti biasa. Hanya tanganku yang terasa sedikit sakit.
            “Kau sudah bangun?”
            Tatapan mataku langsung mengarah pada asal suara itu. Aku kembali melihatnya duduk tak jauh dariku dengan komik di depan wajahnya.
            “Dimana aku?” tanyaku.
            “Tentu saja di kamarmu. Sebaiknya kau berbaring dulu. Kepalamu masih cedera karena kejadian kemarin,” katanya tak melepaskan pandangannya dari komik yang kubeli beberapa hari yang lalu.
            Aku meraba kepalaku yang kini di perban seperti mumi. Aku mencoba bangkit, namun kepalaku kembali berputar sehingga memaksaku tidur kembali dengan tenang.
            “Aku harus berangkat sekolah,” kataku lagi.
            Akhirnya ia meletakkan komikku tak jauh darinya. Kemudian ia bangkit dan duduk di sampingku. “Kau mendapat libur selama seminggu,” katanya kemudian.
            “Kenapa?” tanyaku balik.
            “Entahlah, ibumu bilang begitu.”
            “Kau sudah bertemu orang tuaku?” tanyaku lagi sedikit terkejut.
            “Ya, begitulah. Mereka sangat baik,” jawabnya kembali meraih komik dan membacanya. “Oh, ingin sekali aku membaca semua komikmu. Entah sudah berapa lama aku tak pernah membacanya lagi.”
            “Sebenarnya kau siapa? Dari mana kau datang?” tanyaku memberanikan diri setelah cukup lama memandanganya.
            Ia kembali meletakkan komiknya. “Aku adalah sahabatmu, kan?” sahutnya.
            Aku kembali terdiam untuk berpikir. “Sahabat?” kataku.
            Ia mengangguk sambil tersenyum.
            “Namamu?”
            Kali ini dia yang terdiam. Kemudian ia bangkit dan berjalan menuju jendela kamarku. Aku menatap kekosongan dalam sorot matanya.
            “Aku datang dari tempat yang cukup jauh. Cukup jauh di tempat yang tidak aku sukai. Di sana penuh dengan selang-selang panjang, di sana tercium bau yang paling aku benci, dan di sana aku sendirian. Seperti kamu,” ujarnya sambil memandangku. “Karena kesamaan itu aku datang ke sini.”
            Aku kembali memikirkan setiap kata yang baru saja kudengar. Tapi tetap aku tak mengerti apa pun darinya.
            “Radi,” sahutnya.
            Aku berpaling padanya. “Kau tahu namaku?”
            “Tentu saja. Aku bahkan sangat mengenalmu,” jawabnya. “Namaku…”
            Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Sesaat kemudian, ayah dan ibu muncul memandangku sebentar di depan pintu kamar.
            “Ayah, Ibu” sapaku.
            Kemudian keduanya duduk tepat di sampingku. Hampir saja aku melupakan seseorang yang sejak tadi bersamaku. Tapi saat kualihkan pandanganku padanya, dia sudah tersenyum di balik pintu kamar, lalu pergi sambil menutup pintu dengan tenang.
            “Tunggu!” seruku berharap ia membuka pintu kembali. Tapi beberapa menit berlalu ia tak juga kembali.
            “Ada apa, Di?” tanya ayah kemudian.
            “Dia pergi, Yah,” jawabku tetap memandang pintu masih berharap ia kembali.
            “Dia siapa?” tanya ayah lagi.
            “Aku tak tahu namanya,” jawabaku singkat.
            “Radi, kamu jangan berteman dengan anak sembarangan. Ibu sudah memperingatkanmu berkali-kali, kan? Sekarang lihat hasilnya jika kamu tidak menuruti kata ibumu,” ujar ibu memeriksa luka di kepalaku.
            “Sudahlah, Bu. Namanya juga anak laki-laki. Berkelahi itu sudah menjadi sarapan sehari-hari,” sahut ayah.
            Pandanganku langsung tertuju kepada ayah. Sesaat aku kembali berpikir mengingat kembali kejadian kemarin. Dan hal yang kutakutkan akhirnya terjadi juga. Pasti dia berkelahi dengan Rafi. Kalau itu terjadi, aku bisa kena masalah lagi dengannya.
            “Ayah jangan membela Radi dong. Sekarang ia dihukum selama satu minggu, Yah. Kalau begini terus ia bisa ketinggalan pelajaran,” kata ibu.
            “Apa? Aku dihukum selama satu minggu, Bu?” sahutku tak tahu apa-apa.
Ibu mengangguk. “Gara-gara kejadian itu, kamu harus tinggal di rumah selama satu minggu. Ibu tak habis pikir kenapa kamu bisa berbuat senekad itu, Di?”
Ya, satu masalah baru sudah dimulai. Kataku dalam hati.
“Sudahlah, Bu. Radi belum makan dari kemarin. Pasti dia sangat lapar,”  Ayah kembali mendinginkan suasana.
Dengan segera ibu bangkit dan membawakan semangkok sup hangat kesukaanku. Aku tak sempat lagi memikirkan masalah yang kuhadapi. Yang kutahu, perutku yang lapar memaksaku untuk segera menikmati sup hangat buatan ibu.
* * *

Sudah seminggu berlalu setelah kejadian itu. Kali ini hari pertama aku masuk sekolah setelah masa hukumanku berakhir. Walaupun ada sesuatu yang menganjal di pikiranku, aku akan mencoba melalui hari ini dengan baik.
Ada yang mengetuk pintu kamarku ketika aku sedang memakai sepatuku. Dengan segera aku menyilakannya masuk dan kembali melihatnya sambil tersenyum ramah padaku.
“Kau datang lagi?” tanyaku sambil mengikat tali sepatuku.
Dia tak manjawab dan langsung melemparkan tubuhnya ke tempat tidurku.
“Apa kau tak ke sekolah?” tanyaku lagi kali ini sambil meraih tas ranselku.
“Ya, aku akan pergi bersamamu,” jawabnya menikmati hangatnya tempat tidurku.
Aku terdiam memandangnya. “Dengan pakaian seperti itu?”
Dia memandang bajunya sendiri. “Yah, aku tak punya baju lagi.”
“Radi, sudah siang,” seru ibu dari ruang depan.
“Terserah,” kataku langsung keluar kamar disusul dengannya di belakangku.
Ibu sudah menantiku di depan pintu. Sambil mengulurkan sebuah payung padaku, ibu membukakan pintu depan. Setelah berpamitan, aku langsung membuka payungku dan berlari menerobos hujan karena tak ingin terlambat.
Aku kembali menatapnya di belakangku. “Kau tidak membawa payung?”
“Aku lebih suka hujan-hujanan,” katanya sambil berlarian di tengah-tengah hujan. “Sudah lama sekali aku tidak bermain di tengah-tengah hujan.”
Aku kembali tak memahaminya. Tanpa pikir panjang lagi aku mempercepat langkah kakiku sebelum bel masuk berbunyi.
Lima menit kemudian aku menginjakkan kaki di pintu gerbang sekolah. Halaman masih ramai dengan murid-murid yang mencoba berteduh dari hujan. Aku mengambil napas panjang sebelum melanjutkan langkahku menuju kelas. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan tatapan mata aneh, suara tawa yang memekakan telinga, lemparan kertas dan masalah-masalah yang lain. Tapi entah mengapa ada sesuatu yang kurasa berbeda saat ini.
“Kau masih takut?” tanyanya menghancurkan lamunanku.
Aku memandangnya. “Ya, ku-kurasa begitu,” jawabku pasrah.
Dia kembali tersenyum padaku. “Aku tak akan membiarkanmu menderita lagi,” katanya kembali berlarian di tengah hujan.
“Mak-maksudmu?” tanyaku tanpa balasan darinya.
Aku berjalan lambat menyusuri lorong-lorong kelas dimana setiap mata akan memandangiku. Aku kembali merasakannya lagi. Kali ini terdengar pula suara berbisik di belakangku. Beberapa ada yang menghindar saat aku melewati mereka. Namun, tak sedikit pun tawa yang sering kudengar muncul. Aku mempercepat langkahku menuju kelas. Setelah menutup payung dan mengeringkannya di depan kelas, aku masuk dan membuat keadaan seperti biasa. Tanpa menyapa teman-temanku, tanpa menanyakan tugas seperti teman-temanku yang lain, bahkan berbincang. Aku tak ingin ada yang tersinggung gara-gara aku.
Langkahku terhenti saat kulihat Rafi duduk dikelilingi beberapa teman-temanku yang lain. Aku terkejut bukan karena takut bertemu dengannya. Aku terkejut ketika melihat beberapa memar di wajahnya dan balutan-balutan perban di tangan kiri dan kanannya.
Semua kembali memandangku. Dan kali ini aku yakin, semua yang kutakutkan pagi ini benar-benar akan terjadi. Aku mencoba menunduk seperti biasa untuk menghindari tatapan itu. Namun, tak kurasakan sebuah masalah yang datang padaku. Aku kembali memandang Rafi dan teman-temanku yang lain. Seketika itu pula mereka menghindariku dan mancoba bertingkah seperti biasa. Termasuk Rafi yang biasanya langsung melabrakku kini hanya terdiam sambil menunduk ketakutan.
Apa yang terjadi kataku dalam hati. Tanpa pikir panjang lagi aku duduk di bangkuku. Sempat aku memandang teman-temanku yang lain termasuk Sisy. Namun, semuanya terasa menghindari pandanganku tak tahu kenapa. Apa semua ini karena dia. 
* * *

Ada banyak perubahan setelah aku melewati hari-hari ini. Walaupun hujan masih sering turun membasahi kaca jendela kamarku, namun kini aku tak lagi sendiri seperti dulu. Dalam dinginnya hujan itu, dia selalu datang seperti yang ia janjikan sebelumnya. Walaupun aku belum tahu siapa namanya, aku sudah merasa sangat dekat denganya. Juga seperti yang ia janjikan sebelumnya. Seseorang yang dipanggil dengan sahabat. Entah sudah berapa tahun aku tak mengenal kata itu. Kata yang bagiku seperti wahyu yang diturunkan Tuhan padaku. Yang jelas, saat aku mengenalnya semua terasa berubah begitu cepat. Tak ada sepi, sendiri dan kesunyian. Dan yang paling membuatku aman, tak ada lagi yang menganggap rendah diriku.
            “Di, mungkin besok aku tak bisa datang lagi ke sini,” katanya sambil memandang jauh keluar dari jendela.
            “Kenapa?” tanyaku tak mengalihkan perhatianku pada soal matematika yang membuat kepalaku berpikir keras.
            “Karena besok tak lagi hujan,” katanya lagi.
            Aku menghentikan pekerjaanku. “Kenapa kau bisa tahu,” tanyaku lagi.
            Kali ini dia memandang jauh ke atas awan hitam. “Aku bisa merasakannya. Lagi pula, mungkin saat ini sudah waktunya aku pulang.”
            “Pulang?”
            “Ya, ke tempat yang sudah lama sekali aku inginkan,” katanya lagi.
            “Ke tempat membosankan itu?” tanyaku mencoba mengingat kembali perkataannya dulu.
            Ia menatapku sambil tersenyum padaku. “Bukan, ke suatu tempat yang dulu juga kau inginkan.”
            “Yang aku inginkan?” tanyaku meminta penjelasan.
            Dia mengangguk lambat. “Apa kau sudah lupa?”
Aku mencoba berpikir tempat apa itu. Namun, karena kepalaku masih pusing memikirkan soal matematika ini, aku tak mampu lagi berpikir jernih. Akhirnya aku mengiyakan pertanyaannya.
“Sudahlah, tak perlu kau ingat lagi,” katanya kembali menatap keluar jendela.
“Lalu bagaimana dengan Sisy? Kau bilang kau suka padanya,” kataku kembali memusatkan pikiranku pada soal itu.
“Entahlah, mungkin dia pantas untukmu. Kenapa kau tak mencobanya?”
“Aku? Dia temanku sejak SMP. Selama ini aku menganggapnya seperti adikku sendiri. Lagi pula dia pacar Rafi. Kalau kau yang merebutnya dari Rafi masih pantas. Jika aku yang merebutnya, aku bisa babak belur dihajarnya,” ujarku.
Kemudian ia duduk di sampingku. “Kau masih takut dengan pecundang itu?”
“Walaupun dia tak lagi mengangguku, aku tak mau lagi terlibat masalah dengannya. Aku tak mau…”
“Menangis lagi,” sahutnya meneruskan kalimatku.
Aku berhenti menggoreskan pensilku. Menangis. Aku sudah hampir melupakan kata-kata itu. Padahal kata itu seperti nyawa bagiku. Entah mengapa aku tak pernah lagi melihat pipiku basah karena air mata. Dan sebenarnya aku tak mau lagi mengingat masa-masaku sebagai pecundang seperti dulu.
“Kenapa? Kau masih takut padanya?” dia mengulang pertanyaannya.
Aku memandangnya namun tak tahu harus berkata apa. Sejujurnya di tahu bagaimana perasaanku saat ini.
“Kau tak perlu takut lagi. Aku sudah bilang tak akan membiarkanmu menderita lagi, kan?” katanya sambil tersenyum.
Sekali lagi aku tak tahu harus berkata apa. Apa aku harus terus berterima kasih karena aku selalu bersembunyi di belakangnya. Atau aku harus selamanya membohongi diriku sendiri dengan memanfaatkan seorang sahabat sendiri. Aku sama sekali tak mengerti. Lagi pula sebentar lagi ia akan pergi. Mungkin ia tak akan kembali karena sudah menemukan apa yang ia cari. Lalu bagaimana denganku. Bagaimana diriku jika tanpa dia. Apa aku harus melalui masa-masa suram lagi.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya setelah membaca raut wajahku.
“Aku menggeleng. “Tidak, aku hanya sedikit lelah. Boleh aku tidur,” kataku sambil menutup buku tugasku. “Apa kau mau menginap di sini?” tanyaku lagi
Dia tersenyum lalu menggeleng perlahan. “Sepertinya aku akan pulang.”
Aku tak berani bertanya dia akan kembali atau tidak. Dengan puluhan beban yang kembali hinggap di kepalaku, aku mencoba berbaring dan menutup mataku.
“Aku akan menemanimu sampai kau tidur,” katanya duduk tepat di belakangku.
Aku yakin aku tak akan bisa tidur pulas. Namun, ketika ia ada di sini, aku bisa merasa ketenangan. Walaupun esok akan berubah. Bahkan akan berbeda dari sebelumnya.
* * *

Cahaya matahari mulai menerobos lewat jendela kamarku. Aku membuka mataku perlahan menatap jam dinding tepat di atas pintu kamarku. Waktu menunjukkan pukul lima pagi. Bergegas aku bangun dan pikiranku langsung tertuju padanya. Aku menghela napas panjang seakan membiarkannya pergi seperti napas yang telah kubuang itu. Sekarang aku yakin ia telah pergi ke tampat di mana ia seharusnya berada. Ke tempat yang membuatnya lebih bahagia daripada bersamaku di sini. Kucoba melupakannya untuk menjadi diri sendiri. Menjadi Radi yang baru atau Radi yang sama seperti sebelumya. Aku tak lagi memikirkan akan jadi apa aku ini. Perlahan aku membuka tirai jendelaku dan pendanganku langsung terkunci pada sebuah gambar yang terbuat dari embun pagi di jendela.
            Sebuah gambar wajah bulat dengan senyum lebar di mulutnya. Gambar sederhana ini mengingatkanku pada masa yang telah menghilang dari hidupku. Tapi aku masih mengingat gambar ini. Gambar yang terasa sangat akrab denganku. Aku tahu dia yang membuatnya untukku. Dan aku tahu, dia ingin aku menjdai Radi yang baru dengan senyum lebar seperti ini.
            Bergegas aku ke kamar mandi untuk bersiap berangkat ke sekolah. Hari ini aku ingin semua berubah seperti yang ia harapkan. Aku mencoba menata rambutku sedikit berbeda dari biasanya. Aku menbuka satu kancing kemejaku, aku memakai sepatu baru yang kubeli dengannya. Dan saat aku bercermin. Radi yang baru sudah muncul dengan senyum keren di wajahnya.
            “Pagi, Yah. Pagi, Bu,” sapaku sambil duduk di meja makan.
            Ayah dan ibu menatapku tanpa berkedip.
            “Kenapa, Yah?” tanyaku.
            “Radi, kenapa kau berantakan sekali?” sahut ibu mencoba merapikan rambutku kembali.
            “Ibu, menurut Ayah Radi nampak lebih ganteng,” ayah kembali membelaku seperti biasa.
            “Ayah,” ujar ibu.
            “Sudahlah, Bu. Radi sudah dewasa. Dia bukan anak kecil yang cengeng seperti dulu. Biarkanlah ia bertindak seperti apa yang ia mau,” kata ayah lagi.
            Aku tersenyum mendengarnya.
            Ibu tak berkata apa-apa lagi. Ibu membelai rambutku sebentar lalu tersenyum lagi padaku. “Anak ibu sudah seganteng ini.”
            Aku kembali tersenyum. Sekarang semua akan berubah, kan.
            Bel masuk sekolah sudah terdengar nyaring seperti biasa. Aku masih berdiri di depan gerbang seperti biasa untuk meyakinkan diri bahwa aku bisa melakukannya. Tak beberapa lama kemudian dengan langkah mantap aku menginjakkan kakiku sebagai Radi yang baru.
            Kulihat Sisy berjalan di depanku. Aku sempat ragu untuk menyapanya. Tapi aku bukan Radi yang sama seperti dulu. Ya, aku bukan Radi yang seperti dulu.
            “Pa-pagi, Si,” sapaku sedikit gemetar.
            Sisy terhenti lalu memandangku dengan sedikit heran. “Ra-Radi?” katanya sambil menunjuk padaku.
            Aku mengangguk sambil tersenyum.
            “Boleh jalan bareng ke kelas,” kataku lebih mantap dari sebelumnya.
            Sisy sedikit bingung. Beberapa lama kemudian ia baru mengangguk walaupun sedikit tidak yakin.
            “Aku merasa aneh,” kata Sisy kemudian.
            “Kenapa?” sahutku. “Apa aku…”
            “Bukan, bukan itu maksudku,” katanya memotong. “Aku…aku hanya… kau sudah tak bicara lagi padaku sejak kita kelas dua SMP.”
            Aku terdiam sejenak. “Ya, semua terasa aneh.”
            “Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Aku hanya merasa kau…kau sangat berubah,” kata Sisy lagi. “Kau benar-benar berubah, Di”
            Aku kembali terdiam melewati beberapa kelas bersamanya. “Entahlah. Aku pun merasa demikian. Aku tak tahu apa yang kulakukan ini baik atau tidak. Aku hanya tak ingin orang-orang terdekatku malu gara-gara aku.”
            Sisy terhenti memandangku. “Karena?”
            “Karena aku… karena aku aneh. Aku berbeda dengan anak yan lain.”
            “Aku benar-benar tak memahamimu. Aku tak tahu mengapa kau bisa berkata seperti itu,” katanya sambil mempercepat langkahnya meninggalkanku di belakang.
            “Karena kau juga begitu, kan?” sahutku.
            Sisy kembali terhenti. Tapi ia tak berpaling padaku.
            “Kau juga berubah kan, Si. Kau tak sama seperti Sisy yang kukenal dulu.”
            Sisy tak menyahut lagi. Ia kembali mempercepat langkahnya meninggalkanku seperti biasa. Namun, aku tak mau berpikir panjang lagi. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi diriku yang baru. Walaupun tak seorang pun akan memahamiku.
* * *

“Di, ada yang ingin bertemu denganmu,” Johan tiba-tiba mendatangiku lalu memaksaku pergi dengannya.
            “Siapa?” tanyaku.
            “Entahlah, aku hanya disuruh menyampaikan pesan ini padamu,” sahutnya.
            Aku mengikutinya menuju lapangan bola di belakang sekolah. Beberapa anak sudah menunggu di sana. Salah satunya Rafi dengan luka memarnya yang mulai menghilang.
            “Di, aku tak ikut-ikut dalam masalah ini. Jadi jangan libatkan aku,” kata Johan langsung berlari pergi meninggalkanku bersama lima orang yang tak kukenal dan Rafi.
            “A-ada apa, Raf?” tanyaku sedikit gemetar melihat mereka.
            Rafi tersenyum di belakang lima orang bermuka garang di depanku.
            “Hoi, Di. Loe serkarang boleh berubah seperti itu. Gua akui loe bener-bener orang yang tak bisa dianggap enteng. Sebenarnya gua udah kapok berurusan dengan loe lagi, Di. Tapi jangan harap gua bakalan diam ngelihat loe jalan ama Sisy. Sisy itu pacar gua, Di!” ujuranya mulai membentak seperti biasa.
            “Ta-tapi aku…” sahutku membela diri.
            “Jangan banyak alasan deh loe. Gua udah lihat dengan mata kepala gua sendiri loe ngerayu Sisy, kan?” kata Rafi. “Loe sekarang bener-bener nggak bisa diampuni, Di.”
            “Tu-tunggu, Raf. Kamu salah pa…”
            Sebuah pukulan keras mendarat di perutku. Aku langsung terjatuh dan berguling karenanya. Perutku terasa sakit dan mual. Sementara pandanganku pudar dan gemetaran.
            “Hajar aja, Bang!” seru Rafi dari kejauhan.
            Kelima pria bermuka garang seperti preman itu kambali mendekatiku. Aku mencoba bangkit untuk menghindar. Tapi mereka berhasil menarik rambutku dan memaksaku untuk berdiri. Satu hantaman keras kembali mendarat di pipiku. Kali ini lebih sakit. Aku bisa merasakan gigi-gigiku gemetar dan cairan merah mulai mengalir keluar dari mulutku bersama air liur. Aku kembali kehilangan kendali. Mereka kembali memaksaku berdiri dan menjadikanku seperti mainan. Mereka melemparku, memukulku, dan menghantamku sampai aku tak merasakan lagi sakitnya tubuhku.
            Aku mendengar suara Sisy berteriak memanggil namaku. Entah aku sedang bermimpi atau tidak. Tapi jelas aku mendengarnya. Aku sendiri tak tahu harus berbuat apa. Apa aku akan mati di sini tanpa melakukan apa pun. Tubuhku sudah terlalu peyah untuk membalas. Walaupun aku tahu sekarang aku sudah berubah, aku tak bisa berbuat apa-apa. Andai dia ada di sini. Pasti ia akan membantuku. Ya, andai dia di sini…
            “Raf, loe gila, ya!”  seru Sisy. Cepat hentikan semua ini atau gua akan laporin perbuatan loe kepada Kepala Sekolah!”
            “Si, jangan bertindak bodoh!” bentak Rafi.
“Loe yang  bodoh! Loe mau membunuh Radi. Dia itu temen kita, Raf!”
“Temen? Loe bilang ia temen? Jelas gua lihat dia ngerayu loe tadi pagi,” kata Rafi.
Sisy mulai menangis. “Please, Raf. Tolong hentikan semua ini. Gua mohon.”
Rafi terdiam tak mau menjawab. Tangannya masih menggenggam erat lengan Sisy. Sisy mencoba melepaskannya. Tapi Rafi tetap memeganggnya erat.
“Hentikan, Raf. Hentikan. Loe bisa terkena masalah besar karena ini, Raf,” Sisy terus memohon sambil menangis. “Please….”
Rafi tak menghiraukan. Tatapannya kembali mengarah padaku sambil tersenyum penuh kemenangan.
Sekali lagi pukulan itu menyerang wajahku. Aku sempoyongan. Aku mencoba menahan tubuhku agar tetap bisa berdiri. Namun, sesuatu yang berat menarikku hingga jatuh berdebam di tanah penuh rumput kering. Sekali lagi aku tak dapat merasakan semua tubuhku. Aku hampir tak dapat bernapas. Mulutku dan hidungku penuh dengan cairan merah yang terus mengalir tanpa henti. Pandanganku kabur. Aku bisa melihat kelima orang itu menatapku. Tapi aku sudah tak dapat mengenali mereka.
Aku mencoba menutup mataku. Aku ingin sekali berteriak minta tolong. Aku ingin sekali berlari keluar menerobos mereka. Tapi aku sudah tak sanggup lagi. Tubuhku tak mau lagi bergerak. Semua terasa sakit sampai ke tulang. Tolong…. Berkali-kali aku meronta dalam hati. Aku mencoba berteriak, namun suaraku berhenti di tenggorokan. Aku berguling beberapa kali. Aku merasa sudah mati. Tubuhku terasa ringan, namun satu pukulan keras di perutku membuatku terjatuh kembali.
“RADI!!!” Sisy kembali menyebut namaku. Aku tahu ia menangis. Aku tahu ia ketakutan.
Aku ingin sekali merubah keadaan ini. Aku tak ingin lagi menjadi seperti dulu. Bukankah aku sudah menjadi Radi yang baru. Seharusnya aku bisa menghadapi semua ini. Ini adalah bayaran yang harus aku terima. Seandainya dia di sini. Seandanyai ia bersamaku. Pasti ia tak akan membiarkanku seperti ini. Ya, pasti ia akan membantuku. Seharusnya ia datang lagi. Dia sudah berjanji, kan. Dia seharusnya datang. Dia sudah berjanji.
Aku tahu sekarang keadaanku sangat buruk. Aku tahu sekarang aku sedang menangis jauh dalam hatiku. Tapi sebisa mungkin aku tak ingin air mataku jatuh. Walaupun mereka memukuliku, walaupun mereka menendangku hingga aku terjatuh, walaupun aku sudah mulai lelah sekarang. Aku menyerah, aku sudah menyerah! Tolong… kumohon datanglah….. aku sudah tak...tak sanggup lagi….!
Pukulan terakhir mendarat di pipiku. Aku terlempar dan terjatuh bagaikan sampah. Aku menangis. Aku terkapar tak berdaya. Mereka tertawa puas melihatku. Aku mendengar suara langkah kaki kemudian. Namun, aku tak tahu siapa yang datang.
“Loe sudah tamat,” bisik Rafi terdengar puas di telingaku.
Aku tak menghiraukan kata-katanya walaupun aku tahu aku sudah mati. Yang kuinginkan sekarang hanyalah dia. Tapi kenapa ia tak datang. Ia sudah berjanji. Kenapa ia tak datang.
“Aku datang saat hujan.”
Aku teringat kembali kata-kata itu. Saat mengingatnya semua harapanku tentangnya musnah bersama sengatan matahari yang membakar tubuhku. Ya, dia datang saat hujan. Berarti, ia takkan datang. Dia tak mungkin datang…
“Si-siapa iu?” tanyaku ketakuatan.
“Aku? Bukannya kau yang memanggilku?” dia bertanya balik.
Angin bertiup kencang menerpa tubuhku yang sudah tak berdaya.
“Aku? Kamu?”
“Ya, aku datang karena kamu,” katanya lagi.
“Ke-kenapa?’
Aku masih bisa merakan napasku yang berat. Mataku kosong seakan menanti seseorang yang akan muncul tepat di hadapanku.
“Kenapa diam?” tanyanya.
Perlahan sengatan matahari itu menghilang berganti udara lembab yang mulai menyejukkanku. Aku mencoba menatap langit. Melihat sang mentari mulai bersembunyi di balik awan kelambu yang terlihat indah.
“Aku akan selalu datang saat hujan seperti ini,” katanya lagi.
Angin berhembus lebih cepat dari sebelumnya. Rumput-rumput kering yang mati mulai terbang bersama angin entah kemana. Semua mulai nampak gelap. Tak beberapa lama kemudian terdengar deru guntur yang tak sabar menari-nari bersama kilatnya.
“Aku akan selalu datang saat hujan seperti ini,” katanya lagi.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena aku sahabatmu.”
Perlahan aku mulai merasakan tetes air yang berjatuhan dari langit. Semakin lama, tetes-tetes hujan  itu jatuh menyejukkan tubuhku yang remuk. Aku mulai merasa tenang dalam hujan ini. Aku bisa menangis tanpa orang lain tahu. Aku bisa mengeluarkan air mataku yang mengalir bersama dengan hujan ini. Ya, biarkan hujan ini turun. Agar aku bisa menikmati saat terakhirku.
“Kau menangis lagi?”
Mataku kembali terbuka saat aku mendengar suara yang sudah sangat aku kenal.
“Memang kau mau mati?” katanya lagi.
Aku menatap sosok berbaju hitam yang berdiri tak jauh di depanku. Aku tak bisa melihat wajahnya karena pandangku mulai terganggu. Namun, aku dapat mengenalinya. Ya, aku sangat mengenalinya.
“Aku sudah berjanji padamu, kan?”
Aku tersenyum saat mendengarnya. Semua ketakutan dan rasa sakit yang kurasakan tiba-tiba lenyap. Dia berjalan lambat menghampiriku. Aku ingin menyambutnya, tapi tubuhku tak sanggup lagi untuk bergerak. Kemudian ia berlutut di sampingku dan mendekatkan mulutnya ke telingaku.
“Sekarang serahkan semuanya padaku. Aku akan membuat semuanya baik-baik saja. Percayalah padaku. Sekarang kau boleh beristirahat sejenak.”
Ya, semua akan-akan baik-baik saja seperti yang ia katakan. Aku kembali merasakan hembusan angin kencang yang ingin menerbangkan tubuhku. Aku kembali merasa ringan di ruangan penuh cahaya putih. Tak beberapa lama kemudian terdengar suara pukulan keras. Terdengar orang-orang yang meronta kesakitan. Namun, aku tak mau peduli lagi. Aku sungguh sangat lelah sekarang. Lelah sekali. Dan biarkan aku menutup mataku sejenak. Sejenak saja….. 

Comments

Popular posts from this blog

NEXT CHAPTER: JAMUR RUMPIK!!

Pojok Misteri: Jembatan Sulfat Malang dan Kisah-Kisah Misterinya

ROCK THE RETRO STYLE!