(Novel Online) GUNTING & KENTANG Chapter 1
SATU…..
Sahabat Dalam Hujan…
Suatu hari, aku pernah bermimpi dalam kesendirianku.
Aku tak pernah mengerti, apa dan siapa yang setiap malam
mengetuk jendela.
Tiap aku terbangun, aku merasa sedang bermimpi.
Dan tiap kubermimpi, aku selalu saja terbangun.
Ya, dalam hari-hari tanpa cahaya, aku melihatnya
menatapku dari jendela.
Cahaya matanya menerawang jauh seakan membawaku pada
kenangan lalu.
Aku kembali bertanya pada diriku, pada dirinya.
Seakan aku punya sahabat baru lagi….
* * *
Aku terdiam memandang lurus ke depan. Semua tatapan mata
tertuju padaku. Aku bingung apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku. Sempat
aku tersenyum kaku mencoba menggapai tawa yang semakin keras kudengar. Namun,
semua yang kuharapkan hanya angin lalu dan membawaku pada suatu titik dimana
aku merasa dipojokkan.
Dua
tatap mata melototiku di depan pintu kelas. Di belakangnya seorang perempuan
tersenyum di balik jemarinya yang menutupi mulutnya. Aku kembali bingung, untuk
apa aku berdiri di depan kelas ini.
Sambil
menghirup napas dalam-dalam, aku mencoba bertanya pada seorang pria yang dari
tadi melototiku. Tapi suaraku terbenam di tenggorokan sehingga tak mampu lagi
keluar dari mulut. Sekali lagi suara tawa yang membuat telingaku panas menggema
di seluruh ruangan.
“Kau,
menari!” kata pria yang dari tadi melototiku dengan geram.
Aku
sempat terdiam mencoba mencari-cari makna dari kata-kata tersebut. Namun
setelah kupikirkan jauh-jauh, aku tetap tak mengerti apa yang ia inginkan. Aku
menggeleng kuat-kuat.
“Kau
tuli! Cepat menari!” katanya lagi lebih galak.
Perempuan
yang berada di belakangnya semakin tertawa ketika melihatku kebingungan.
Sementara seisi kelas terdiam menanti apa yang akan kulakukan.
Aku
kembali menenangkan diri. “Ta-tapi apa salah saya?” tanyaku susah payah dengan
suara gemetaran.
Seisi
kelas kembali tertawa terbahak-bahak. Dengan tampang tolol aku menatap tiap
kepala sambil bertanya-tanya apa yang membuat mereka terbahak-bahak. Aku
kembali menatap pria dan perempuan yang berdiri di depan pintu. Keduanya
sama-sama tertawa sampai hampir menangis.
Satu
lemparan kertas tergulung mendarat di wajahku. Aku terkejut hingga hampir
jatuh. Melihat itu mereka semakin tertawa seakan menikmati tiap langkah
kebodohanku. Aku mulai kehabisan napas dibuatnya. Aku tak mengerti apa yang
tengah terjadi. Aku tak mengerti apa yang lucu dari semua tingkahku. Hingga
pertanyaan-pertanyaan ini mencapai puncaknya, aku memberanikan untuk bertanya
sekali lagi.
“APA
YANG MEMBUAT KALIAN TERTAWA!!”
Napasku
terengah-engah. Semua tatapan mata kembali mengarah padaku. Tapi kali ini semua
terdiam. Mulut mereka menganga tanpa suara. Dan entah mengapa bulu kudukku
berdiri sehingga membuat mataku berair.
“Dia
menangis!” seru salah seorang yang duduk di bangku paling belakang.
Semuanya kembali tertawa keras. Semuanya tertawa puas tak
tahu mengapa. Aku kembali dilanda kebingungan. Aku tak tahu harus berbuat apa
lagi untuk membuat semuanya diam.
“Dia
menangis! Dia benar-benar menangis!”
Aku tidak
menangis! Kataku memberontak dalam hati. Aku hanya tak tahu kenapa tiba-tiba
mataku basah. Aku mencoba tetap tenang dan diam dalam kebingunganku. Aku hanya
tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak menangis…
“Anak
SMA menangis?” beberapa anak perempuan saling berbisik di sebelah kanan.
“Ya, dia
memang cengeng,” kali ini sambil tertawa terbahak-bahak seperti yang lain.
Aku
tidak menangis, aku tidak menangis. AKU TIDAAK MENANGIS!!!!!
* * *
Suara tetesan air hujan itu terdengar manis di telinga.
Aku kembali tersadar dari lamunanku. Napasku terasa berat, dadaku berdetak
dengan cepatnya. Entah mengapa aku merasa tubuhku tersengat hebat selama
beberapa detik yang lalu. Setelah merasa semua baik-baik saja, aku kembali
duduk perlahan di sudut kamarku yang gelap.
“Aku tidak menangis,” bisikku hampir tak
terdengar.
Aku meringkuh mencoba menghangatkan tubuhku
yang gemetaran. Bayangan dahan-dahan pohon yang menari-nari menembus jendela
kamarku membuatku kembali menghilang bersama lamunanku. Sesaat aku mencoba
kembali. Namun, akhirnya kubiarkan aku terbawa olehnya.
Aku berjalan dalam kegelapan dengan sebuah
senter di tanganku. Aku ikuti jalan licin dan berliku mengelilingi
teriakan-teriakan yang membuat dadaku berdetak hebat. Di tangan kiriku
tergenggam sebuah kertas kecil bertuliskan nama ‘Kak Ita’ yang harus kucari
orangnya sekarang juga. Saat kulihat perempuan berjilbab sedang duduk di bawah
pohon aku mencoba mendekatinya.
“Ma…maaf, Kak Ita?” tanyaku sambil menunjuk
sopan padanya.
Dia memandangku sebentar lalu melemparkan
pandangannya ke arah lain tanpa berkata sedikit pun.
“Ma-maaf, permisi. Apa Anda Kak Ita?” tanyaku
lagi lebih sopan dan gemetaran.
“KAU BISA SOPAN SEDIKIT NGGAK SIH!” teriakan
keras itu menyambutku tiba-tiba.
Aku terhenyak mengalihkan pandanganku ke
bawah mencoba menenangkan diri. Setelah cukup tenang, aku kembali menatapnya
tanpa menunjukkan ketakutanku.
“Ma…maaf,” sahutku seakan tak mampu lagi
untuk berkata.
“Maaf…maaf. Saya tidak butuh kata itu. Memang
sekarang kau kelas berapa?!” katanya tetap tegas.
“Sa..saya.. sa-saya sudah S-SMA, Kak,”
jawabku.
“Kamu sering ke stasiun, ya?” dia kembali
menyodoriku sebuah pertanyaan
Aku terdiam. Aku tak mengerti apa yang ia
katakan. Sejenak aku berpikir. Namun tetap tak mengerti dengan apa yang ia katakan.
Setelah cukup lama berpikir, aku mencoba bertanya kembali.
“Ma-maaf, bisa di-diulangi?” tanyaku.
“Dasar tuli. KAMU SERING KE STASIUN YA?!!”
katanya mengulangi pertanyaannya dengan keras dan tegas.
Beberapa kakak panitia di belakang kami
tertawa mendengarnya. Aku sempat memandang mereka. Tapi tetap tak mengerti
dengan apa yang ia maksud.
“Dia sudah langganan, Kak,” kata salah
seorang dari mereka. “Banyak om-om yang mengidolakan dia kok.”
Aku mulai mengerti dengan apa yang mereka
maksud. Aku menatap kakak perempuan yang ada di depanku dengan perasaan yang
sulit lagi untuk digambarkan. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Aku…aku…
“Pantes, kalau bicara aja seperti banci-banci
yang sedang mangkal di stasiun!” katanya benar-benar menusuk jauh ke dalam
hatiku.
Tubuhku lemah hampir tak dapat kutopang lagi
dengan kakiku. Ingin sekali aku berlari pergi dari dunia ini. Namun kembali aku
mencoba berdiri dalam semua ketidakberdayaan ini.
“YANG TEGAS!” serunya lagi di depan wajahku.
Aku mengangguk lemah. Namun, suara yang ingin
kutunjukkan tak mampu lagi bekerja sama denganku. Aku kembali menatap dengan
kosong.
Suara guntur menangkap perhatianku. Aku
kembali terbangun dari semua bayangan yang pernah kualami. Sekali lagi aku
mendekap tubuhku erat. Sampai tak sadar, mataku kembali berair seperti jendela
kamarku yang mulai basah oleh hujan. Sejenak kunikmati keheningan malam ini.
Namun, semuanya berakhir saat bayangan-bayangan itu kembali masuk ke dalam
otakku.
Aku mencoba berontak. Aku tak ingin lagi
mengenang bayang-bayang mengerikan yang membuat tidurku menjadi mimpi buruk.
Dengan susah payah aku meronta dan melupakan semuanya. Tanpa sadar sebuah vas
bunga sudah kugenggam dan kulemparkan jauh memecahkan kaca jendelaku dengan
suara yang membuat hatiku tenang.
Napasku kembali tak teratur. Tubuhku lemah
hampir tak mampu bangkit lagi. Hembusan angin malam melewati wajahku
mengeringkan air mata yang mulai membasahi pipi. Aku tak menangis. Aku tak tahu
kenapa air mata ini tiba-tiba mengalir. Padahal aku sama sekali tak menginginkannya.
Aku hanya mau pergi ke tempat itu. Aku hanya ingin terbang sekarang ke tempat
itu. Bukannya menangis seperti lelaki pecundang. Aku tidak mau menangis…
“Kau menangis,” tiba-tiba terdengar suara
dari luar jendela.
Aku bangkit menatap jendela pecah itu. Namun
tak terlihat seorang pun di sana. Dengan langkah lambat aku mencoba memandang
jauh menerobos rintik-rintik hujan.
“Kau menangis, kan?” katanya lagi.
Tak ada seorang pun di sana. Namun aku yakin
mendengar suara seorang pria seumuran denganku.
“Si-siapa itu?” tanyaku ketakuatan.
“Aku? Bukannya kau yang memanggilku?” dia
bertanya balik.
“Aku? Kamu?”
“Ya, aku datang karena kamu,” katanya lagi.
“Ke-kenapa?”
Sesosok bayangan muncul dari seberang jalan.
Dari derasnya hujan ia muncul perlahan. Sesosok lelaki jangkung berbaju hitam
tersenyum padaku. Dia berhenti tepat di depanku. Sambil mengangkat tangannya
padaku ia kembali tersenyum ramah. Aku menatapnya dengan penuh keraguan.
Memandangnya daru ujung rambut sampai ujung kaki. Entah mengapa, aku merasa
dekat dengannya.
“Kenapa diam?” tanyanya. Dia kembali
mengangkat tangannya sekali lagi berharap ada balasan. Sekali lagi dengan ragu
aku mencoba menjabat tanganya.
Hembusan angin kencang seolah-olah ingin
melemparkanku jauh-jauh. Aku mencoba bertahan dalam keadaan itu. Namun, tak
beberapa menit kemudian tubuhku terlempar jauh membuat napasku berhenti dan
menbangunkanku dari tidurku.
Aku bangkit dalam keheningan malam itu.
Napasku tak teratur. Dadaku seakan penuh sesak ingin meledak. Perlahan aku
menatap jendela kamarku. Mataku melotot ketika semuanya terlihat baik-baik
saja. Tak ada yang pecah, tak ada hujan, tak ada angin. Aku pun tak sadar
sedang berbaring di tempat tidurku yang barantakan. Setelah yakin semuanya
hanya mimpi, aku kembali berbaring mencoba menenangkan diri.
“Kau sudah sadar?” tiba-tiba dia muncul
kembali tepat di depan wajahku.
Aku terkejut dan berguling ke kanan hingga
jatuh dari tempat tidurku. Kemudian aku segera bangkit dan berlari merapat ke
dinding.
“Kenapa kau takut?” tanyanya. “Kitakan sudah
bertemu.”
Lelaki yang sama saat kulihat dalam mimpiku.
Aku memandangnya dengan seksama. Mulai dari rambutnya yang lurus, senyumnya
yang ramah, tubuhnya yang jangkung, baju dan celana hitam, hingga ujung kaki
tanpa alas. Semuanya mirip dengan apa yang aku lihat sebelumnya.
“Si-siapa kau?” tanyaku kambali gemetaran.
“Aku? Sudah kubilang aku temanmu,” katanya
sambil berbaring santai di tempat tidurku. “Oh… bukan, aku adalah sahabatmu,”
katanya kembali sambil berguling-guling meluruskan tubuhnya. “Sudah lama aku
tak seperti ini.”
Aku tak bicara lagi membiarkannya menikmati
tempat tidurku. Aku mendengar suara dari luar jendela. Entah apa yang terjadi.
Hujan lebat kembali turun tanpa kusadari.
“Aku datang saat hujan.” Sekali lagi ia
mengejutkanku dengan muncul tiba-tiba di sampingku. Namun, kali ini aku tak
menghindar. Benar-benar kurasakan ikatan kuat padanya.
“Aku akan selalu datang saat hujan seperti
ini,” katanya lagi.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena aku sahabatmu.”
Aku memandanganya. Dan dia membalasku dengan
sebuah senyuman.
“Kau tidak punya sahabat, kan?” tanyanya.
Aku mengangguk lambat. Kali ini kutatap tiap
tetes hujan yang mengalir di jendela kamarku.
“Sekarang kau punya,” katanya sambil
mengangkat jari kelingkingnya padaku. “Berjanjilah.”
“Untuk apa?” tanyaku balik.
“Untuk jadi sahabatku.”
Aku kembali memandangnya sebentar. Kemudian
aku menjabat jarinya dengan jariku. “Ya,” sahutku.
* * *
Bel pulang sekolah sudah
terdengar lima belas menit yang lalu. Aku menyempatkan diri pergi ke
perpustakan sekolah dulu sebelum pulang. Langit tampak gelap saat aku melewati
lapangan basket. Sekolah mulai sepi. Hanya beberapa teman sekelas sedang asyik
bermain bola di lapangan. Aku mencoba menghindari mereka karena tak ingin lagi
ada masalah yang datang seperti sebelumnya. Namun, bagaimana pun aku
menghindar, lemparan bola basket yang cukup kuat mendarat di bahuku melepaskan
beberapa buku tebal yang sebelumnya kupinjam dari perpustakaan.
Sekali
lagi aku mendengar tawa puas dari mereka. Aku bangkit mengambil buku-buku
tersebut karena itu bukan milikku. Jika sampai rusak, aku bisa mendapat
masalah.
“Hoi,
Di. Kalau jalan lihat-lihat dong. Ambilin bola basketnya,” Doni kembali
menertawakanku.
Aku
meletakkan kembali buku-buku perpustakaan itu di atas ranselku. Kemudian, aku
mengambil bola basket yang menggelinding jauh dariku lalu membawanya kembali ke
lapangan basket. Perlahan aku menyodorkan kembali bola mereka. Tetapi tak ada
yang mau menyambutnya. Aku memandang keempat temanku yang kini balas
memandangku dengan tatapan aneh. Aku menunduk untuk menghindari mereka.
“I-ini
bola basketnya,” kataku secepat mungkin ingin pergi dari tempat itu.
Rafi dan
teman-temannya mundur beberapa langkah.
“Lemparkan
bolanya,” katanya sambil mengangkat kedua tangannya. Yang lain tertawa kecil
seakan menanti sebuah pertunjukkan yang mereka tunggu-tunggu.
“Loe
denger, nggak?! Gua bilang lempar bolanya!” Rafi membentak.
Aku
melonjak kaget. Dengan cepat aku mundur beberapa langkah dan melemparkan
bolanya dengan lambat.
Rafi
mengkap bola itu dengan mudah. Kemudian ia tersenyum diikuti tawa keras
teman-temanku yang lain. “Loe bisa main basket nggak sih?” tanyanya kemudian.
Aku
terdiam tak mengerti apa yang ia maksud.
“Gua
tanya loe! Kok malah bengong,” dia kembali membentakku. “OK, biar gua yang
ajarin gimana cara bermain basket yang baik dan benar,” sambungnya sambil
tersenyum sinis. Dan yang lain kembali tertawa ingin melihat apa yang akan
terjadi kemudian.
Aku
terdiam. Kepalaku terus berputar hebat dan kakiku gemetaran tak karuan. Aku
kembali memandang Rafi, dan bola basketnya menyambut tepat di wajahku. Aku
mundur beberapa langkah olehnya. Sampai tak mampu lagi menyeimbangkan tubuhku,
aku terpelanting dan jatuh membuat kepalaku terbentur dengan keras.
Aku
mencoba tak merasakan panasnya wajahku yang memerah dan benturan keras yang
baru kuterima. Sempat kurasakan sesuatu yang hangat mengalir dari kedua lubang
hidungku, tetapi tak kuhiraukan. Aku mencoba bernapas lewat mulutku dan
mengumpulkan tenaga untuk bangkit. Tetapi apa yang kurasakan sekarang membuatku
lebih nyaman dan membiarkan semuanya seperti ini.
Entah
sudah berapa lama aku biarkan tubuhku terkapar di lapangan ini. Tapi aku masih
mendengar tawa puas mereka setelah menjatuhkanku dengan mudah. Ya, memang aku
mudah terjatuh. Bahkan sangat mudah seperti tetes-tetes hujan yang mulai turun
menyejukkan tubuhku. Aku mendengar suara guntur. Aku juga mendengar suara
mereka. Aku mendengar dan melihat semua yang ada di sana. Kulihat mereka
tertawa di depanku. Di kejauhan kulihat beberapa temanku yang lain sedang asyik
membicarakakanku. Termasuk Sisy temanku sejak kecil. Entahlah. Mungkin aku yang
tak pantas menjadi temannya.
“Kau mau
seperti ini terus?”
Aku
mendengar suara yang lain. Suara yang sudah kukenal sebelumnya. Namun aku tak ingin
berpaling dan melihat siapa yang berbisik di belakangku.
Aku
mendengar napasnya yang hangat tepat di telingaku. “Apa kau mau seperti ini
untuk selamanya?” dia bertanya lagi.
Aku
tetap tak berpaling. “Ya,” sahutku tanpa pikir panjang. “Hanya ini yang
membuatku lebih nyaman.”
“Apa kau
bodoh? Kenapa kau tak bangkit dan memukul hidung besar pecundang itu?” ia
bertanya lagi.
“Dia
bukan pecundang. Dia temanku,” jawabku.
“Kau kan
tidak punya teman,” katanya.
Aku
terdiam mendengarnya. Saat itulah tak lagi terdengar suara. Aku memandang Rafi
dan teman-temanku yang lain. Entah mengapa mereka menutup mulutnya rapat-rapat
sambil memandang heran padaku. Begitu pula dengan Sisy dan teman-temannya.
Dengan wajah tidak percaya mereka perjalan mendekati Rafi dan yang lainnya.
“Mereka terlihat takut padamu,” katanya lagi.
“Aku tidak tahu.”
“Ayolah, aku tak mau melihatmu seperti ini.
Aku ada di sampingmu. Aku pasti akan membantumu,” katanya lagi yang membuatku
terbagun karena terkejut.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku
ketika menyadarinya benar-benar nyata.
Dia tersenyum padaku. Kemudian ia bangkit dan
memandang tajam kepada Rafi dan teman-temannya.
“Boleh aku membantumu?” tanyanya kemudian.
“Aku sudah lama tak memukul wajah seorang pecundang,” sambungnya.
Dadaku kembali berdetak kencang. “Aku bisa
mendapat masalah lagi jika kau ada di sini. Cepat pergi. Aku bisa mengatasi
semuanya sendiri.”
Dia kembali memandangku. “Kau tidak bisa
berbuat apa-apa,” sahutnya. “Kau kan sahabatku. Kita sudah berjanji, kan?”
Aku kembali mengingat kejadian malam itu.
Saat pertama kali aku melihatnya di kamarku. Entah dari mana dan untuk apa dia
datang padaku. Tapi ada sesuatu yang berbeda saat aku memandangnya.
“Aku akan membantumu,” katanya sambil
mengulurkan tangannya padaku. “Ijinkan aku membantumu,” katanya lagi.
Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku tak
ingin menambah masalahku yang sudah banyak kuderita. Aku kembali memandang Rafi
dan teman-temannya dalam derasnya hujan. Mereka tetap terdiam memandangku
dengan tatapan aneh. Aku tak tahu apa
yang sedang mereka pikirkan. Saat ini hanya dia yang membuatku merasa
aman.
Perlahan aku manggapai tangannya. Dia
tersenyum ramah padaku. Dan dalam satu kedipan mata, hembusan angin kencang
kembali menerpa tubuhku hingga aku merasa sangat ringan seperti terbang tinggi
ke atas. Aku tak melihat mereka lagi termasuk dia. Yang aku lihat hanya cahaya
putih yang memenuhi ruangan dimana aku berada. Aku tak dapat mengeluarkan suara
untuk mencari dimana mereka semua pergi. Yang dapat aku lakukan sekarang hanya
mendengar suara hantaman-hantaman dari kejahuan. Aku sama sekali tak tahu suara
apa itu. Kemudian aku mendengar teriakan, jeritan tapi sangat pelan dan nyaris
tak kudengar. Saat aku mencoba menajamkan pendengaranku, aku tahu Sisy menjerit
entah mengapa.
* * *
Aku terbangun di pagi yang
basah karena hujan. Kepalaku terasa berputar hebat saat pertama kali aku
membuka mata. Namun, tak beberapa lama kemudian semuanya membaik seperti biasa.
Hanya tanganku yang terasa sedikit sakit.
“Kau
sudah bangun?”
Tatapan
mataku langsung mengarah pada asal suara itu. Aku kembali melihatnya duduk tak
jauh dariku dengan komik di depan wajahnya.
“Dimana
aku?” tanyaku.
“Tentu
saja di kamarmu. Sebaiknya kau berbaring dulu. Kepalamu masih cedera karena
kejadian kemarin,” katanya tak melepaskan pandangannya dari komik yang kubeli
beberapa hari yang lalu.
Aku
meraba kepalaku yang kini di perban seperti mumi. Aku mencoba bangkit, namun
kepalaku kembali berputar sehingga memaksaku tidur kembali dengan tenang.
“Aku
harus berangkat sekolah,” kataku lagi.
Akhirnya
ia meletakkan komikku tak jauh darinya. Kemudian ia bangkit dan duduk di
sampingku. “Kau mendapat libur selama seminggu,” katanya kemudian.
“Kenapa?”
tanyaku balik.
“Entahlah,
ibumu bilang begitu.”
“Kau sudah
bertemu orang tuaku?” tanyaku lagi sedikit terkejut.
“Ya,
begitulah. Mereka sangat baik,” jawabnya kembali meraih komik dan membacanya.
“Oh, ingin sekali aku membaca semua komikmu. Entah sudah berapa lama aku tak
pernah membacanya lagi.”
“Sebenarnya
kau siapa? Dari mana kau datang?” tanyaku memberanikan diri setelah cukup lama
memandanganya.
Ia
kembali meletakkan komiknya. “Aku adalah sahabatmu, kan?” sahutnya.
Aku
kembali terdiam untuk berpikir. “Sahabat?” kataku.
Ia
mengangguk sambil tersenyum.
“Namamu?”
Kali ini
dia yang terdiam. Kemudian ia bangkit dan berjalan menuju jendela kamarku. Aku
menatap kekosongan dalam sorot matanya.
“Aku
datang dari tempat yang cukup jauh. Cukup jauh di tempat yang tidak aku sukai.
Di sana penuh dengan selang-selang panjang, di sana tercium bau yang paling aku
benci, dan di sana aku sendirian. Seperti kamu,” ujarnya sambil memandangku.
“Karena kesamaan itu aku datang ke sini.”
Aku
kembali memikirkan setiap kata yang baru saja kudengar. Tapi tetap aku tak mengerti
apa pun darinya.
“Radi,”
sahutnya.
Aku
berpaling padanya. “Kau tahu namaku?”
“Tentu
saja. Aku bahkan sangat mengenalmu,” jawabnya. “Namaku…”
Tiba-tiba
saja pintu kamar terbuka. Sesaat kemudian, ayah dan ibu muncul memandangku
sebentar di depan pintu kamar.
“Ayah,
Ibu” sapaku.
Kemudian
keduanya duduk tepat di sampingku. Hampir saja aku melupakan seseorang yang
sejak tadi bersamaku. Tapi saat kualihkan pandanganku padanya, dia sudah
tersenyum di balik pintu kamar, lalu pergi sambil menutup pintu dengan tenang.
“Tunggu!”
seruku berharap ia membuka pintu kembali. Tapi beberapa menit berlalu ia tak
juga kembali.
“Ada
apa, Di?” tanya ayah kemudian.
“Dia
pergi, Yah,” jawabku tetap memandang pintu masih berharap ia kembali.
“Dia
siapa?” tanya ayah lagi.
“Aku tak
tahu namanya,” jawabaku singkat.
“Radi,
kamu jangan berteman dengan anak sembarangan. Ibu sudah memperingatkanmu
berkali-kali, kan? Sekarang lihat hasilnya jika kamu tidak menuruti kata
ibumu,” ujar ibu memeriksa luka di kepalaku.
“Sudahlah,
Bu. Namanya juga anak laki-laki. Berkelahi itu sudah menjadi sarapan
sehari-hari,” sahut ayah.
Pandanganku
langsung tertuju kepada ayah. Sesaat aku kembali berpikir mengingat kembali
kejadian kemarin. Dan hal yang kutakutkan akhirnya terjadi juga. Pasti dia
berkelahi dengan Rafi. Kalau itu terjadi, aku bisa kena masalah lagi dengannya.
“Ayah
jangan membela Radi dong. Sekarang ia dihukum selama satu minggu, Yah. Kalau
begini terus ia bisa ketinggalan pelajaran,” kata ibu.
“Apa?
Aku dihukum selama satu minggu, Bu?” sahutku tak tahu apa-apa.
Ibu mengangguk. “Gara-gara kejadian itu, kamu
harus tinggal di rumah selama satu minggu. Ibu tak habis pikir kenapa kamu bisa
berbuat senekad itu, Di?”
Ya, satu masalah baru sudah dimulai. Kataku
dalam hati.
“Sudahlah, Bu. Radi belum makan dari kemarin.
Pasti dia sangat lapar,” Ayah kembali
mendinginkan suasana.
Dengan segera ibu bangkit dan membawakan
semangkok sup hangat kesukaanku. Aku tak sempat lagi memikirkan masalah yang
kuhadapi. Yang kutahu, perutku yang lapar memaksaku untuk segera menikmati sup
hangat buatan ibu.
* * *
Sudah seminggu berlalu setelah kejadian itu. Kali ini
hari pertama aku masuk sekolah setelah masa hukumanku berakhir. Walaupun ada
sesuatu yang menganjal di pikiranku, aku akan mencoba melalui hari ini dengan
baik.
Ada yang mengetuk pintu kamarku ketika aku
sedang memakai sepatuku. Dengan segera aku menyilakannya masuk dan kembali
melihatnya sambil tersenyum ramah padaku.
“Kau datang lagi?” tanyaku sambil mengikat
tali sepatuku.
Dia tak manjawab dan langsung melemparkan
tubuhnya ke tempat tidurku.
“Apa kau tak ke sekolah?” tanyaku lagi kali
ini sambil meraih tas ranselku.
“Ya, aku akan pergi bersamamu,” jawabnya
menikmati hangatnya tempat tidurku.
Aku terdiam memandangnya. “Dengan pakaian
seperti itu?”
Dia memandang bajunya sendiri. “Yah, aku tak
punya baju lagi.”
“Radi, sudah siang,” seru ibu dari ruang
depan.
“Terserah,” kataku langsung keluar kamar
disusul dengannya di belakangku.
Ibu sudah menantiku di depan pintu. Sambil
mengulurkan sebuah payung padaku, ibu membukakan pintu depan. Setelah
berpamitan, aku langsung membuka payungku dan berlari menerobos hujan karena
tak ingin terlambat.
Aku kembali menatapnya di belakangku. “Kau
tidak membawa payung?”
“Aku lebih suka hujan-hujanan,” katanya
sambil berlarian di tengah-tengah hujan. “Sudah lama sekali aku tidak bermain
di tengah-tengah hujan.”
Aku kembali tak memahaminya. Tanpa pikir
panjang lagi aku mempercepat langkah kakiku sebelum bel masuk berbunyi.
Lima menit kemudian aku menginjakkan kaki di
pintu gerbang sekolah. Halaman masih ramai dengan murid-murid yang mencoba
berteduh dari hujan. Aku mengambil napas panjang sebelum melanjutkan langkahku
menuju kelas. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan tatapan mata aneh, suara
tawa yang memekakan telinga, lemparan kertas dan masalah-masalah yang lain.
Tapi entah mengapa ada sesuatu yang kurasa berbeda saat ini.
“Kau masih takut?” tanyanya menghancurkan
lamunanku.
Aku memandangnya. “Ya, ku-kurasa begitu,”
jawabku pasrah.
Dia kembali tersenyum padaku. “Aku tak akan
membiarkanmu menderita lagi,” katanya kembali berlarian di tengah hujan.
“Mak-maksudmu?” tanyaku tanpa balasan
darinya.
Aku berjalan lambat menyusuri lorong-lorong
kelas dimana setiap mata akan memandangiku. Aku kembali merasakannya lagi. Kali
ini terdengar pula suara berbisik di belakangku. Beberapa ada yang menghindar
saat aku melewati mereka. Namun, tak sedikit pun tawa yang sering kudengar
muncul. Aku mempercepat langkahku menuju kelas. Setelah menutup payung dan
mengeringkannya di depan kelas, aku masuk dan membuat keadaan seperti biasa.
Tanpa menyapa teman-temanku, tanpa menanyakan tugas seperti teman-temanku yang
lain, bahkan berbincang. Aku tak ingin ada yang tersinggung gara-gara aku.
Langkahku terhenti saat kulihat Rafi duduk
dikelilingi beberapa teman-temanku yang lain. Aku terkejut bukan karena takut
bertemu dengannya. Aku terkejut ketika melihat beberapa memar di wajahnya dan
balutan-balutan perban di tangan kiri dan kanannya.
Semua kembali memandangku. Dan kali ini aku
yakin, semua yang kutakutkan pagi ini benar-benar akan terjadi. Aku mencoba
menunduk seperti biasa untuk menghindari tatapan itu. Namun, tak kurasakan
sebuah masalah yang datang padaku. Aku kembali memandang Rafi dan teman-temanku
yang lain. Seketika itu pula mereka menghindariku dan mancoba bertingkah
seperti biasa. Termasuk Rafi yang biasanya langsung melabrakku kini hanya
terdiam sambil menunduk ketakutan.
Apa yang terjadi kataku dalam hati. Tanpa
pikir panjang lagi aku duduk di bangkuku. Sempat aku memandang teman-temanku
yang lain termasuk Sisy. Namun, semuanya terasa menghindari pandanganku tak
tahu kenapa. Apa semua ini karena dia.
* * *
Ada banyak perubahan setelah
aku melewati hari-hari ini. Walaupun hujan masih sering turun membasahi kaca
jendela kamarku, namun kini aku tak lagi sendiri seperti dulu. Dalam dinginnya
hujan itu, dia selalu datang seperti yang ia janjikan sebelumnya. Walaupun aku
belum tahu siapa namanya, aku sudah merasa sangat dekat denganya. Juga seperti
yang ia janjikan sebelumnya. Seseorang yang dipanggil dengan sahabat. Entah
sudah berapa tahun aku tak mengenal kata itu. Kata yang bagiku seperti wahyu
yang diturunkan Tuhan padaku. Yang jelas, saat aku mengenalnya semua terasa
berubah begitu cepat. Tak ada sepi, sendiri dan kesunyian. Dan yang paling
membuatku aman, tak ada lagi yang menganggap rendah diriku.
“Di,
mungkin besok aku tak bisa datang lagi ke sini,” katanya sambil memandang jauh
keluar dari jendela.
“Kenapa?”
tanyaku tak mengalihkan perhatianku pada soal matematika yang membuat kepalaku
berpikir keras.
“Karena
besok tak lagi hujan,” katanya lagi.
Aku
menghentikan pekerjaanku. “Kenapa kau bisa tahu,” tanyaku lagi.
Kali ini
dia memandang jauh ke atas awan hitam. “Aku bisa merasakannya. Lagi pula,
mungkin saat ini sudah waktunya aku pulang.”
“Pulang?”
“Ya, ke
tempat yang sudah lama sekali aku inginkan,” katanya lagi.
“Ke
tempat membosankan itu?” tanyaku mencoba mengingat kembali perkataannya dulu.
Ia
menatapku sambil tersenyum padaku. “Bukan, ke suatu tempat yang dulu juga kau
inginkan.”
“Yang
aku inginkan?” tanyaku meminta penjelasan.
Dia
mengangguk lambat. “Apa kau sudah lupa?”
Aku mencoba berpikir tempat apa itu. Namun,
karena kepalaku masih pusing memikirkan soal matematika ini, aku tak mampu lagi
berpikir jernih. Akhirnya aku mengiyakan pertanyaannya.
“Sudahlah, tak perlu kau ingat lagi,” katanya
kembali menatap keluar jendela.
“Lalu bagaimana dengan Sisy? Kau bilang kau
suka padanya,” kataku kembali memusatkan pikiranku pada soal itu.
“Entahlah, mungkin dia pantas untukmu. Kenapa
kau tak mencobanya?”
“Aku? Dia temanku sejak SMP. Selama ini aku
menganggapnya seperti adikku sendiri. Lagi pula dia pacar Rafi. Kalau kau yang
merebutnya dari Rafi masih pantas. Jika aku yang merebutnya, aku bisa babak
belur dihajarnya,” ujarku.
Kemudian ia duduk di sampingku. “Kau masih
takut dengan pecundang itu?”
“Walaupun dia tak lagi mengangguku, aku tak
mau lagi terlibat masalah dengannya. Aku tak mau…”
“Menangis lagi,” sahutnya meneruskan
kalimatku.
Aku berhenti menggoreskan pensilku. Menangis.
Aku sudah hampir melupakan kata-kata itu. Padahal kata itu seperti nyawa
bagiku. Entah mengapa aku tak pernah lagi melihat pipiku basah karena air mata.
Dan sebenarnya aku tak mau lagi mengingat masa-masaku sebagai pecundang seperti
dulu.
“Kenapa? Kau masih takut padanya?” dia
mengulang pertanyaannya.
Aku memandangnya namun tak tahu harus berkata
apa. Sejujurnya di tahu bagaimana perasaanku saat ini.
“Kau tak perlu takut lagi. Aku sudah bilang
tak akan membiarkanmu menderita lagi, kan?” katanya sambil tersenyum.
Sekali lagi aku tak tahu harus berkata apa.
Apa aku harus terus berterima kasih karena aku selalu bersembunyi di
belakangnya. Atau aku harus selamanya membohongi diriku sendiri dengan
memanfaatkan seorang sahabat sendiri. Aku sama sekali tak mengerti. Lagi pula
sebentar lagi ia akan pergi. Mungkin ia tak akan kembali karena sudah menemukan
apa yang ia cari. Lalu bagaimana denganku. Bagaimana diriku jika tanpa dia. Apa
aku harus melalui masa-masa suram lagi.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya setelah
membaca raut wajahku.
“Aku menggeleng. “Tidak, aku hanya sedikit
lelah. Boleh aku tidur,” kataku sambil menutup buku tugasku. “Apa kau mau
menginap di sini?” tanyaku lagi
Dia tersenyum lalu menggeleng perlahan.
“Sepertinya aku akan pulang.”
Aku tak berani bertanya dia akan kembali atau
tidak. Dengan puluhan beban yang kembali hinggap di kepalaku, aku mencoba
berbaring dan menutup mataku.
“Aku akan menemanimu sampai kau tidur,”
katanya duduk tepat di belakangku.
Aku yakin aku tak akan bisa tidur pulas.
Namun, ketika ia ada di sini, aku bisa merasa ketenangan. Walaupun esok akan
berubah. Bahkan akan berbeda dari sebelumnya.
* * *
Cahaya matahari mulai
menerobos lewat jendela kamarku. Aku membuka mataku perlahan menatap jam
dinding tepat di atas pintu kamarku. Waktu menunjukkan pukul lima pagi.
Bergegas aku bangun dan pikiranku langsung tertuju padanya. Aku menghela napas
panjang seakan membiarkannya pergi seperti napas yang telah kubuang itu.
Sekarang aku yakin ia telah pergi ke tampat di mana ia seharusnya berada. Ke
tempat yang membuatnya lebih bahagia daripada bersamaku di sini. Kucoba
melupakannya untuk menjadi diri sendiri. Menjadi Radi yang baru atau Radi yang
sama seperti sebelumya. Aku tak lagi memikirkan akan jadi apa aku ini. Perlahan
aku membuka tirai jendelaku dan pendanganku langsung terkunci pada sebuah
gambar yang terbuat dari embun pagi di jendela.
Sebuah
gambar wajah bulat dengan senyum lebar di mulutnya. Gambar sederhana ini
mengingatkanku pada masa yang telah menghilang dari hidupku. Tapi aku masih
mengingat gambar ini. Gambar yang terasa sangat akrab denganku. Aku tahu dia
yang membuatnya untukku. Dan aku tahu, dia ingin aku menjdai Radi yang baru
dengan senyum lebar seperti ini.
Bergegas
aku ke kamar mandi untuk bersiap berangkat ke sekolah. Hari ini aku ingin semua
berubah seperti yang ia harapkan. Aku mencoba menata rambutku sedikit berbeda
dari biasanya. Aku menbuka satu kancing kemejaku, aku memakai sepatu baru yang
kubeli dengannya. Dan saat aku bercermin. Radi yang baru sudah muncul dengan
senyum keren di wajahnya.
“Pagi,
Yah. Pagi, Bu,” sapaku sambil duduk di meja makan.
Ayah dan
ibu menatapku tanpa berkedip.
“Kenapa,
Yah?” tanyaku.
“Radi,
kenapa kau berantakan sekali?” sahut ibu mencoba merapikan rambutku kembali.
“Ibu,
menurut Ayah Radi nampak lebih ganteng,” ayah kembali membelaku seperti biasa.
“Ayah,”
ujar ibu.
“Sudahlah,
Bu. Radi sudah dewasa. Dia bukan anak kecil yang cengeng seperti dulu.
Biarkanlah ia bertindak seperti apa yang ia mau,” kata ayah lagi.
Aku
tersenyum mendengarnya.
Ibu tak
berkata apa-apa lagi. Ibu membelai rambutku sebentar lalu tersenyum lagi
padaku. “Anak ibu sudah seganteng ini.”
Aku
kembali tersenyum. Sekarang semua akan berubah, kan.
Bel
masuk sekolah sudah terdengar nyaring seperti biasa. Aku masih berdiri di depan
gerbang seperti biasa untuk meyakinkan diri bahwa aku bisa melakukannya. Tak
beberapa lama kemudian dengan langkah mantap aku menginjakkan kakiku sebagai
Radi yang baru.
Kulihat
Sisy berjalan di depanku. Aku sempat ragu untuk menyapanya. Tapi aku bukan Radi
yang sama seperti dulu. Ya, aku bukan Radi yang seperti dulu.
“Pa-pagi,
Si,” sapaku sedikit gemetar.
Sisy
terhenti lalu memandangku dengan sedikit heran. “Ra-Radi?” katanya sambil
menunjuk padaku.
Aku
mengangguk sambil tersenyum.
“Boleh
jalan bareng ke kelas,” kataku lebih mantap dari sebelumnya.
Sisy
sedikit bingung. Beberapa lama kemudian ia baru mengangguk walaupun sedikit
tidak yakin.
“Aku
merasa aneh,” kata Sisy kemudian.
“Kenapa?”
sahutku. “Apa aku…”
“Bukan,
bukan itu maksudku,” katanya memotong. “Aku…aku hanya… kau sudah tak bicara
lagi padaku sejak kita kelas dua SMP.”
Aku
terdiam sejenak. “Ya, semua terasa aneh.”
“Aku
tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Aku hanya merasa kau…kau sangat
berubah,” kata Sisy lagi. “Kau benar-benar berubah, Di”
Aku
kembali terdiam melewati beberapa kelas bersamanya. “Entahlah. Aku pun merasa
demikian. Aku tak tahu apa yang kulakukan ini baik atau tidak. Aku hanya tak
ingin orang-orang terdekatku malu gara-gara aku.”
Sisy
terhenti memandangku. “Karena?”
“Karena
aku… karena aku aneh. Aku berbeda dengan anak yan lain.”
“Aku
benar-benar tak memahamimu. Aku tak tahu mengapa kau bisa berkata seperti itu,”
katanya sambil mempercepat langkahnya meninggalkanku di belakang.
“Karena
kau juga begitu, kan?” sahutku.
Sisy
kembali terhenti. Tapi ia tak berpaling padaku.
“Kau
juga berubah kan, Si. Kau tak sama seperti Sisy yang kukenal dulu.”
Sisy tak menyahut lagi. Ia kembali mempercepat langkahnya
meninggalkanku seperti biasa. Namun, aku tak mau berpikir panjang lagi. Aku
sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi diriku yang baru. Walaupun tak
seorang pun akan memahamiku.
* * *
“Di, ada yang ingin bertemu denganmu,” Johan
tiba-tiba mendatangiku lalu memaksaku pergi dengannya.
“Siapa?” tanyaku.
“Entahlah, aku hanya disuruh
menyampaikan pesan ini padamu,” sahutnya.
Aku mengikutinya menuju lapangan bola di belakang
sekolah. Beberapa anak sudah menunggu di sana. Salah satunya Rafi dengan luka
memarnya yang mulai menghilang.
“Di, aku tak ikut-ikut dalam masalah ini. Jadi jangan
libatkan aku,” kata Johan langsung berlari pergi meninggalkanku bersama lima
orang yang tak kukenal dan Rafi.
“A-ada
apa, Raf?” tanyaku sedikit gemetar melihat mereka.
Rafi
tersenyum di belakang lima orang bermuka garang di depanku.
“Hoi,
Di. Loe serkarang boleh berubah seperti itu. Gua akui loe bener-bener orang
yang tak bisa dianggap enteng. Sebenarnya gua udah kapok berurusan dengan loe
lagi, Di. Tapi jangan harap gua bakalan diam ngelihat loe jalan ama Sisy. Sisy
itu pacar gua, Di!” ujuranya mulai membentak seperti biasa.
“Ta-tapi
aku…” sahutku membela diri.
“Jangan
banyak alasan deh loe. Gua udah lihat dengan mata kepala gua sendiri loe
ngerayu Sisy, kan?” kata Rafi. “Loe sekarang bener-bener nggak bisa diampuni,
Di.”
“Tu-tunggu,
Raf. Kamu salah pa…”
Sebuah
pukulan keras mendarat di perutku. Aku langsung terjatuh dan berguling
karenanya. Perutku terasa sakit dan mual. Sementara pandanganku pudar dan
gemetaran.
“Hajar
aja, Bang!” seru Rafi dari kejauhan.
Kelima
pria bermuka garang seperti preman itu kambali mendekatiku. Aku mencoba bangkit
untuk menghindar. Tapi mereka berhasil menarik rambutku dan memaksaku untuk
berdiri. Satu hantaman keras kembali mendarat di pipiku. Kali ini lebih sakit.
Aku bisa merasakan gigi-gigiku gemetar dan cairan merah mulai mengalir keluar
dari mulutku bersama air liur. Aku kembali kehilangan kendali. Mereka kembali
memaksaku berdiri dan menjadikanku seperti mainan. Mereka melemparku,
memukulku, dan menghantamku sampai aku tak merasakan lagi sakitnya tubuhku.
Aku
mendengar suara Sisy berteriak memanggil namaku. Entah aku sedang bermimpi atau
tidak. Tapi jelas aku mendengarnya. Aku sendiri tak tahu harus berbuat apa. Apa
aku akan mati di sini tanpa melakukan apa pun. Tubuhku sudah terlalu peyah
untuk membalas. Walaupun aku tahu sekarang aku sudah berubah, aku tak bisa
berbuat apa-apa. Andai dia ada di sini. Pasti ia akan membantuku. Ya, andai dia
di sini…
“Raf,
loe gila, ya!” seru Sisy. Cepat hentikan
semua ini atau gua akan laporin perbuatan loe kepada Kepala Sekolah!”
“Si,
jangan bertindak bodoh!” bentak Rafi.
“Loe yang
bodoh! Loe mau membunuh Radi. Dia itu temen kita, Raf!”
“Temen? Loe bilang ia temen? Jelas gua lihat
dia ngerayu loe tadi pagi,” kata Rafi.
Sisy mulai menangis. “Please, Raf.
Tolong hentikan semua ini. Gua mohon.”
Rafi terdiam tak mau menjawab. Tangannya
masih menggenggam erat lengan Sisy. Sisy mencoba melepaskannya. Tapi Rafi tetap
memeganggnya erat.
“Hentikan, Raf. Hentikan. Loe bisa terkena
masalah besar karena ini, Raf,” Sisy terus memohon sambil menangis. “Please….”
Rafi tak menghiraukan. Tatapannya kembali
mengarah padaku sambil tersenyum penuh kemenangan.
Sekali lagi pukulan itu menyerang wajahku.
Aku sempoyongan. Aku mencoba menahan tubuhku agar tetap bisa berdiri. Namun,
sesuatu yang berat menarikku hingga jatuh berdebam di tanah penuh rumput
kering. Sekali lagi aku tak dapat merasakan semua tubuhku. Aku hampir tak dapat
bernapas. Mulutku dan hidungku penuh dengan cairan merah yang terus mengalir
tanpa henti. Pandanganku kabur. Aku bisa melihat kelima orang itu menatapku.
Tapi aku sudah tak dapat mengenali mereka.
Aku mencoba menutup mataku. Aku ingin sekali
berteriak minta tolong. Aku ingin sekali berlari keluar menerobos mereka. Tapi
aku sudah tak sanggup lagi. Tubuhku tak mau lagi bergerak. Semua terasa sakit
sampai ke tulang. Tolong…. Berkali-kali aku meronta dalam hati. Aku mencoba
berteriak, namun suaraku berhenti di tenggorokan. Aku berguling beberapa kali.
Aku merasa sudah mati. Tubuhku terasa ringan, namun satu pukulan keras di
perutku membuatku terjatuh kembali.
“RADI!!!” Sisy kembali menyebut namaku. Aku
tahu ia menangis. Aku tahu ia ketakutan.
Aku ingin sekali merubah keadaan ini. Aku tak
ingin lagi menjadi seperti dulu. Bukankah aku sudah menjadi Radi yang baru.
Seharusnya aku bisa menghadapi semua ini. Ini adalah bayaran yang harus aku
terima. Seandainya dia di sini. Seandanyai ia bersamaku. Pasti ia tak akan
membiarkanku seperti ini. Ya, pasti ia akan membantuku. Seharusnya ia datang
lagi. Dia sudah berjanji, kan. Dia seharusnya datang. Dia sudah berjanji.
Aku tahu sekarang keadaanku sangat buruk. Aku
tahu sekarang aku sedang menangis jauh dalam hatiku. Tapi sebisa mungkin aku
tak ingin air mataku jatuh. Walaupun mereka memukuliku, walaupun mereka
menendangku hingga aku terjatuh, walaupun aku sudah mulai lelah sekarang. Aku
menyerah, aku sudah menyerah! Tolong… kumohon datanglah….. aku sudah tak...tak
sanggup lagi….!
Pukulan terakhir mendarat di pipiku. Aku
terlempar dan terjatuh bagaikan sampah. Aku menangis. Aku terkapar tak berdaya.
Mereka tertawa puas melihatku. Aku mendengar suara langkah kaki kemudian.
Namun, aku tak tahu siapa yang datang.
“Loe sudah tamat,” bisik Rafi terdengar puas
di telingaku.
Aku tak menghiraukan kata-katanya walaupun
aku tahu aku sudah mati. Yang kuinginkan sekarang hanyalah dia. Tapi kenapa ia
tak datang. Ia sudah berjanji. Kenapa ia tak datang.
“Aku datang saat
hujan.”
Aku teringat kembali kata-kata itu. Saat
mengingatnya semua harapanku tentangnya musnah bersama sengatan matahari yang
membakar tubuhku. Ya, dia datang saat hujan. Berarti, ia takkan datang. Dia tak
mungkin datang…
“Si-siapa iu?” tanyaku ketakuatan.
“Aku? Bukannya kau yang memanggilku?” dia
bertanya balik.
Angin bertiup kencang menerpa tubuhku yang
sudah tak berdaya.
“Aku? Kamu?”
“Ya, aku datang karena kamu,” katanya
lagi.
“Ke-kenapa?’
Aku masih bisa merakan
napasku yang berat. Mataku kosong seakan menanti seseorang yang akan muncul
tepat di hadapanku.
“Kenapa diam?”
tanyanya.
Perlahan sengatan
matahari itu menghilang berganti udara lembab yang mulai menyejukkanku. Aku
mencoba menatap langit. Melihat sang mentari mulai bersembunyi di balik awan
kelambu yang terlihat indah.
“Aku akan selalu datang saat hujan seperti
ini,” katanya lagi.
Angin berhembus lebih
cepat dari sebelumnya. Rumput-rumput kering yang mati mulai terbang bersama
angin entah kemana. Semua mulai nampak gelap. Tak beberapa lama kemudian
terdengar deru guntur yang tak sabar menari-nari bersama kilatnya.
“Aku akan selalu datang saat hujan seperti
ini,” katanya lagi.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena aku sahabatmu.”
Perlahan aku mulai
merasakan tetes air yang berjatuhan dari langit. Semakin lama, tetes-tetes
hujan itu jatuh menyejukkan tubuhku yang
remuk. Aku mulai merasa tenang dalam hujan ini. Aku bisa menangis tanpa orang
lain tahu. Aku bisa mengeluarkan air mataku yang mengalir bersama dengan hujan
ini. Ya, biarkan hujan ini turun. Agar aku bisa menikmati saat terakhirku.
“Kau menangis lagi?”
Mataku kembali terbuka saat aku mendengar
suara yang sudah sangat aku kenal.
“Memang kau mau mati?” katanya lagi.
Aku menatap sosok berbaju hitam yang berdiri
tak jauh di depanku. Aku tak bisa melihat wajahnya karena pandangku mulai
terganggu. Namun, aku dapat mengenalinya. Ya, aku sangat mengenalinya.
“Aku sudah berjanji padamu, kan?”
Aku tersenyum saat mendengarnya. Semua
ketakutan dan rasa sakit yang kurasakan tiba-tiba lenyap. Dia berjalan lambat
menghampiriku. Aku ingin menyambutnya, tapi tubuhku tak sanggup lagi untuk
bergerak. Kemudian ia berlutut di sampingku dan mendekatkan mulutnya ke
telingaku.
“Sekarang serahkan semuanya padaku. Aku akan
membuat semuanya baik-baik saja. Percayalah padaku. Sekarang kau boleh
beristirahat sejenak.”
Ya, semua akan-akan baik-baik saja seperti yang
ia katakan. Aku kembali merasakan hembusan angin kencang yang ingin
menerbangkan tubuhku. Aku kembali merasa ringan di ruangan penuh cahaya putih.
Tak beberapa lama kemudian terdengar suara pukulan keras. Terdengar orang-orang
yang meronta kesakitan. Namun, aku tak mau peduli lagi. Aku sungguh sangat
lelah sekarang. Lelah sekali. Dan biarkan aku menutup mataku sejenak. Sejenak
saja…..
Comments
Post a Comment